Rabu, 25 Februari 2009

Dalam Kesunyian....

Dalam Kesunyian....

Diasrini

Gelap..., dingin..., kesendirian..., maut dan harapan.
Mataku menatap harap seberkas sinar jauh dibawah sana. Pijar yang kuharapkan dari sebuah kehidupan. Lalu, aku mengulas bibir keringku dengan sisa embun yang masih menempel di dedaunan. Ulasan yang kembali menambah waktu nafasku.
Hari ketiga setelah kerimbunan pepohonan menyesakanku, dibawah cerukan akar pohon yang cukup melindungiku dari terpaan angin dan hujan. Hari dimana semua harapanku sedikit demi sedikit mulai mengabur.

Menahan dingin yang mulai menusuk dan mulai menyeruak masuk, kedua lututku tertarik ke dada. Begitu sulitnya menahan dingin dengan perut yang tidak lagi nyaman dengan makanan sejak aku tersesat di gunung ini. Kedinginan yang sangat semakin menyengat, menggemetarkan semua sendi tubuhku. Dalam perjuanganku ini, perlahan mataku seperti digayuti ribuan kati. Di tengah kantuk yang sangat itu, pikiranku melayang jauh ke kehidupanku yang telah lalu. Terbayang Ibuku, Ayahku,, Saudaraku, teman-temanku, suasana kampus, dan gadis impianku. Kesucian, kekuatan, keceriaan, kejemuan dan kedamaian, saling berebut mengisi perjalanan lamunanku. Smpai akhirnya, penyesalan datang atas kelalaian yang aku lakukan selama ini. Begitu susahnya, aku membersihkan tubuhku dalam wudhu. Begitu congkaknya tubuhku menunduk dalam sholat, dan begitu angkuhnya menahan lapar dan nafsuku dalam shaum.
Lamunanku begitu jelas merekam tingkahku sebelum ini. Gambar maya yang tercetak sangat kukenal, namun begitu memuakan. Inikah rupanya yang kulakukan selama ini?. Kesiaan yang bodoh, angkuhku selama ini! Otot tubuhku yang tertatih dalam ketakberdayaan di tengah rimba, dikesendirian, aku disadarkan. Peringatan yang mukin membuatku berakhir dari kehidupan ini.

Hawa dingin, perlahan beralih hangat, lamunan semakin liar mengembara, dikeliaran itu, aku lihat salah satu keangkuhan yang kulakukan. Seminggu yang lalu, dengan ransel kecil berisi beberapa makanan ringan dan duabotol air minum dan beberapa bungkus sigaret dipunggung, aku mulai keadaan ini. Tak kuhiraukan kekhawatiran Ibuku, peringatan temanku, atas niatku menaklukan gunung ini. Saat itu rasa percaya diriku begitu membuncah, menutup rasio akal sehatku. Nafasku yang terlatih, kaki yang kuat menapak, tubuh yang teruji dengan beban, membutakan pikiranku.

Tubuhku semakin hangat terasa saat ini, tak lagi kurasakan hawa dingin yang selama ini menusuk. Dalam hangat ini aku teringat wajah gadis impianku yang sangat hawatir saat niatku ini diketahuinya. Walau tak terucap kata larangan dari mulutnya yang selalu penuh dengan santun, yang selalu membuatku damai, aku tahu ia tidak setuju dengan gagasanku ini. Gadis yang setia bertahan dengan tingkahku yang selama ini kunilai sangat memuakan. Padahal aku yakin dengan wajah manisnya, tak sulit ia mendapatkan penggantiku. Sedang apakah kau saat ini wahai gadisku? Aku yakin, saat ini kau tengah dilanda kesunyian, kegalauan dan kecemasan karena perbuatanku.

Panas...!!! Sekarang suhu tubuhku terasa mulai naik. Kali ini wajah Ibu dan Ayahku semakin terbayang dalam mataku. Ibuku yang sabar, yang tak mampu aku menyakitinya sedikitpun. Ayahku, yang selalu ingin membahagiakan aku. Saat ini aku sadar, aku telah membuat mereka sedih akan semua tingkah lakuku selama ini.

Suhu panas tubuhku semakin menjadi. Aku mulai membuka jaket jeansku. Panas yang merungkup semakin kuat menderaku. Aku lepas kemejaku., namun panas itu tak juga tertahankan. Hingga akhirnya.....satu kesunyian yang pekat membuatku terlepas dari api tubuhku. Maafkan aku Ibu, Ayah, Perempuanku....atas semua perbuatanku selama ini. Tuhan apakah KAU juga mau memaafkanku?

Aku tak lagi merasakan apapun dalam tubuhku. Tak kudengar lagi suara-suara disekelilingku. Tak kulihat lagi khayal didalam otakku. Tak kurasakan lagi cacing dalam perutku.Aku ingin tidur nyenyak, melupakan ketersesatanku selama ini.

testamen Djoko Darmono

Sedia Kerang Rebus

Sedia Kerang Rebus
“Mengubah Pasir Menjadi Mutiara”

Suatu hari yang sendu seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengaduh kepada ibunya. Sebutir pasir tajam bagai belati memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.

Anakku, kata sang ibu sambil bercucuran air mata, Tuhan tidak memberikan kepada kita bangsa kerang sebuah tangan pun, sehingga ibu tidak bisa menolongmu. Sakit sekali, ibu tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Jadi, kuatkan hatimu, nak. Jangan lagi terlalu lincah. Karahkan semangatmu melawan rasa ngilu. Tegarkan jiwamu melewati rasa nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat anakku, kata ibunya dengan pilu tetapi penuh kelembutan.

Anak kerang mencoba nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa perih bukan alang kepalang. Kadang kala, ditengah rasa sakitnya, ia meragukan nasihat bundanya. Tetapi tidak ada pilihan lain. Ia terus bertahan. Dan dengan banyak air mata ia terus tegar, mengukuhkan hati, menguatkan jiwa, bertahun-tahun lamanya.

Tetapi, tanpa disadarinya, sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Kian lama kian bulat. Dan rasa sakit pun semakin berkurang. Mutiara it uterus semakin berbentuk. Kini, bahkan rasa sakitnya sudah mulai terasa biasa. Dan ketika masanya tiba, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, akhirnya terbentuk dengan sempurna.

Penderitaannya berubah menjadi mahkota. Air matanya menjadi harta berharga. Kristal penderitaannya kini, menjadi perhiasan mahal bergengsi tinggi di leher-leher indah para perempuan kaya nan jelita.

Dirinya kini, sebagai bentukkan derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lainya yang Cuma menjadi santapan orang-orang dipinggir jalan dibawah tenda-tenda yang bertuliskan “Sedia Kerang Rebus”.



Jansen H. Sinamo.
“Mengubah Pasir Menjadi Mutiara” bagaimana para maestro membangun Motivasi Superioir.
Mahardika, Jakarta 2003

Minggu, 22 Februari 2009

Life is Beautiful

Nikmat mana lagi yang kau dustakan.....